Contoh Prosa Baru / Modern dengan Rima: “Harapan”

Mutya Widyalestari
10 min readJul 22, 2023

Ini adalah sebuah proyek kecil tentang harapan-harapan. Ada yang besar, ada yang kecil, ada yang muskil, ada yang iseng-iseng jahil.

Apakah ada yang mirip dengan harapanmu?

Dian

Dengan malu-malu, gadis berkepang dua itu berkata, “Saya ingin punya banyak teman, banyak pengalaman, banyak pujian, dan selalu melakukan kebajikan.”

Ah, tidakkah semua orang demikian, Dianku yang lugu?

Kelak di umurnya yang ke lima puluh sekian, ia akan berpikir bahwa pertemanan tidak seasyik itu, apalagi jika banyak. Pengalamannya ternyata masih sedikit, dan pujian-pujian itu tidak berarti jika tidak berasal dari dirinya sendiri. Kebajikan? Ke mana perasaan bahagia saat sesudah berbuat baik itu pergi? Di zaman yang serba relatif ini, betulkah ada orang-orang yang benar-benar tahu makna dari kebajikan?

“Saya ingin hadir di saat yang lain mangkir. Terjaga di saat yang lain lupa. Hidup di saat yang lain redup. ”

… Masa’?

“Saya ingin memerangi kebatilan. Memperjuangkan kebajikan. Asyik, bukan?”

… Masa’?

Seorang penebang kayu yang jujur mengaku bahwa dia menjatuhkan kapak dan bukan emas. … Sepasang kakek dan nenek yang hidup miskin bertahun-tahun, masih sempat-sempatnya menolong seekor anjing dekil yang hampir mati, tanpa pamrih. … Seeorang suami yang selama ini hidup berkecukupan, rupanya tidak dapat melawan rasa ingin tahunya yang besar, kemudian tidak menepati janji, dan melanggar privasi istri, yang ternyata — seorang dewi bangau. … Kejujuran. Kebaikan. Pembalasan. Malapetaka. Bahagia. Selamanya.

Cerita anak-anak yang dulu dia baca tergerus dari otaknya sedikit demi sedikit, secungkil demi secungkil, menyisakan…

— apa? Oh? Tidak ada sisa? Baiklah.

Munawarman dan Iman

Temannya yang religius menimpali, “Aku ingin punya harta melimpah. Bisa beli mobil dan juga rumah. Syukur-syukur membiayai Bapak dan Ibu pergi haji sama umrah.”

“Wah iya benar,” teman disebelahnya setuju. “Aku juga mau membelikan adik-adikku mobil. Jadi misalkan aku nanti sudah tidak ada, mobil itu bisa mengajak mereka tamasya, bermil-mil jauhnya. Adikku belum pernah ke Jakarta atau Surabaya. Oh iya, Bali juga. Pasti indah di sana, ya.”

“Mobil mana bisa ke Papua? Aku mau ke Papua!”, seru seorang anak yang dari dulu penasaran apakah tempat bernama Sabang dan Merauke benar-benar ada di dunia nyata, ataukah hanya titik mungil di dalam peta.

“Mil itu apa? Aku taunya bumil,” renung seorang anak yang lebih sering ditemani ibunya nonton video pendek di hape daripada mengerjakan peer.

Anak yang tadi berkata ingin beli mobil pun berpikir keras. Benar juga, dia bergumam. Mil itu apa ya? Aku hanya membacanya dari sebuah buku terjemahan di perpustakaan. Apakah sama dengan penggaris 1 meter di lemari kelas?

“Ah, kamu. Ke Depok dong. Lagi viral itu.”

Lalu ia disambut tawa teman-temannya.

Betapa manisnya.

Apakah kalian pikir Malin Kundang tidak terinspirasi dari cerita nyata seperti film-film horor norak yang kalian lihat di bioskop?

Lalu kalian mengenal istilah harta gono-gini,
harta untuk keluarga Bapak-Ibumu dan keluarga istrimu dan keluargamu sendiri dan keluarga anak-anakmu,
harta yang tidak sepenuhnya suci,
harta yang menghilang seperti embusan napas,
harta yang dipinjam tetapi entah kapan kembali,
harta yang disekolahkan,
harta yang dititip dengan harapan untuk bisa membesar, tapi tak jua membesar, bahkan mengecil, (sayup-sayup kau dengar jargon “pendidikan keuangan pada anak itu penting!”)

Ke mana rasa bahagia saat dulu kita bermain cari harta karun di tengah sawah dan kandang sapi dan karang-karang pantai?

‘Harta karun tidak ada. Harta seringnya membawa celaka,’ katamu.

‘Bagaimana dengan harta batin dan kesehatan?’ tanyaku. ‘Hei, hei, bagaimana?’

Tapi kamu sudah berlalu.

Amanda

“Saya ingin punya muka yang bersih, kulit yang putih, dan hati yang selalu bertasbih,” ia menghela napas dan melanjutkan, “Saya ingin selalu nampak awet muda, tak peduli betapapun nanti rentanya.”

Amanda menatap ragu ke teman-temannya. Ia merasa dihakimi. Padahal tidak ada satu pun dari mereka yang berpikir seperti itu. Pikiran Amanda terkontaminasi oleh ketidakpercayaan diri.

‘Kalian semua tidak ada yang mengerti’, pekik Amanda dalam hati

Ia bertahun-tahun hidup bersama dengan jerawat
Yang bisa ia lakukan hanya bertasbih kuat-kuat
Melawan versi dirinya yang jahat

‘Alhamdulillaah, jerawat kan hanya penampilan. Toh aku tetap sehat. Toh nilai-nilaiku bagus di kelas. Iya, kan?’

Tiap kali orang lewat
ada saja yang mencibir, melemparkan tatapan jijik
seolah-olah Amanda tidak pernah menjaga kebersihan
Betapa kejamnya fitnah itu!

Kebersihan itu sebagian dari iman
Dan Amanda selalu menjaga kebersihan!
‘Astagfirullaah’, lagi Amanda bertasbih

Jika benar fitnah lebih kejam dari pembunuhan,
apakah artinya Amanda boleh membunuh mereka?
Anak perempuan itu tersenyum — bukan, maksudnya menggeleng, dan membuang pikiran itu jauh-jauh
‘Astagfirullaah, astagfirullaah,’ ia ber-istigfar banyak-banyak

Hampir tiap hari, ia melihat iklan-iklan di televisi:
Ayo. Ayo. Kulit putih itu indah. Jernih. Luar biasa cantiknya
Seperti artis yang ini. Seperti aktor yang itu
Dempul sana. Dempul sini
Kilau sana. Kilau sini

‘Masya Allah, betapa cantiknya mereka,’ Amanda berdecak kagum, ‘Aku memang iri, tapi rejeki sudah ada yang mengatur. Alhamdulillaah’

Amanda menyadari fenomena di lingkungannya
Ibu-ibu dan gadis-gadis memakai krim pemutih yang mereka beli di pasar
Bapak-bapak dan bujang-bujang berseloroh seandainya saudara atau istri mereka berkulit lebih cerah seperti mutiara

‘Subhanallah, Paman. Nyebut, Paman. Tante Nia kurang cantik apa,’ kata Amanda mengingatkan

‘Dasar mental negara jajahan!’ rutuk Amanda dalam hati

.

Beberapa tahun kemudian,
Amanda berkuliah di negara yang dulu menjajahnya.
Betapa herannya Amanda
Ia tidak pernah dikatai bahwa warna kulitnya buruk rupa
Jerawatnya juga berangsur-angsur menghilang
Apa mungkin pengaruh kualitas udara yang lebih baik?
Atau pengaruh stres yang tidak lagi mengimpitnya?
Ya, ini pasti berkat dirinya yang memberanikan diri kabur dari lingkungan mengerikan di kampung halamannya

‘Negara ini sungguh lebih baik dari negaraku dulu,’ batinnya

(‘Sekarang siapa yang mental orang bekas jajahan, Amanda?,’ — sebut suatu suara dalam hatinya)

Amanda menepisnya. Ia senang akan kehidupannya saat ini
Sangat senang

Ya, Amanda memang mendapatkan muka yang bersih
Tetapi ia kehilangan hatinya yang dulu selalu bertasbih

Siti Nur

“Ambo ingin jadi penulis!” pekik seorang anak, “yang tulisan-tulisannya di majalah mana pun eksis, di koran pasti di-publish, dan bikin yang baca dadanya kembang-kempis, saking terlalu nyata bahkan magis, mau nangis!”

“Dada kembang-kempis itu maksudnya gimana, Nur?” tanya teman sebelahnya.

Nur tersenyum jail penuh makna dan memperagakannya dengan gerakan absurd seperti orang kehabisan napas. “Kayak gini, nih.”

Berselang beberapa dekade, Nur sadar bahwa baik majalah maupun koran sudah tinggal kenangan. Toko buku pun mulai menjual sesuatu yang bukan buku, dan pelan-pelan berubah menjadi toko aksesoris.

(sayup-sayup terdengar, ‘Kita harus paperless! E-book is the future!’)

‘Tapi saya mau buku saya dicetak berulang-ulang. Cetakan ketiga. Keempat. Kelima. Dan seterusnya. Itu tanda kesuksesan. Tanda kelarisan.’

(sayup-sayup terdengar, ‘Kita harus paperless! E-book is the future!’)

Nur tidak tahu bahwa kertas ternyata seberdosa itu. Dan ia meletakkan pengharapannya pada sesuatu yang kelihatannya rapuh, pipih, bersih, tapi begitu… entahlah, bercela?

Bu Nana

“Kuberi satu permintaan,” kata sosok dalam mimpinya.

Bu Nana adalah guru kelas delapan, lulusan ilmu keguruan yang hobinya scroll barang-barang di e-commerce, memasukkannya dalam keranjang, tetapi tidak pernah benar-benar membeli, ataupun menengoknya kembali.

Harusnya iya mengatakan dengan cepat dan tanpa ragu, “Checkout semua belanjaan saya!”, tetapi yang keluar dari mulutnya adalah keinginan yang purba. Iya, apa lagi. Jodoh.

“Saya ingin punya suami ganteng. Eh, eh tunggu, belum selesai. Boleh deh sedikit berandal, tapi awas ya, bukan pemburu sundal!”

Bu Nana terenyuh oleh lamunannya sendiri, “Hobinya? Hm.. baca buku, kali ya? Iya, seperti aku. Mana ada guru tidak suka baca buku, ya kan? Tapi jangan guru. Tidak mau. Mau makan apa nanti? Ingat ya, buku memang kebutuhan primer, tetapi bukan makanan.”

Sosok dalam mimpinya masih ada di sana. Mendengarkan. Penuh perhatian.

“Dia juga hobi menciptakan lagu. Puisi ketinggalan zaman. Lagu lebih baik. Ya, lagu lebih baik. Bisa dinyanyikan bersama. Puisi mana bisa? Memangnya mau lomba 17 Agustusan?”

Bu Nana melirik sosok tersebut.

“Kupikir bagus juga kalau suamiku pengusaha sukses. Rezekinya selalu menetes. Membanjir. Membahagiakan,” ia terdiam sesaat. “Mungkin… mungkin seharusnya, aku yang jadi seperti itu.”

Dan mulutnya sedikit bergetar seakan mau menangis, “Aku bisa membuat lagu, aku senang membaca buku, dan aku dari dulu mau jualan buah, seperti Bapak, mungkin bisa diekspor ke luar negeri. Aku juga bisa menyanyi. Dari dulu aku mau jadi penyanyi solo, bukan guru! Ke mana gitar lamaku? Kenapa aku malah tumbuh menjadi sosok yang mematikan mimpiku dulu saat kecil? Sosok yang berkata ‘Tidak semua orang bisa jadi penyanyi, Nana sayang. Nanti buntut-buntutnya jadi seperti Nyak Mar yang bekas sinden, sudah tua tapi masih genit, mau kamu?’.

Bu Nana mengelap ingusnya dan mengerjap, “Orang yang selama ini aku tunggu, bukan suami, tapi bisa jadi.. aku sendiri, iya kan?”

Kamu juga berpikir begitu, kan? Hei, aku? . Bu Nana menatap sosok di depannya lamat-lamat.

Ia lupa bagaimana mimpi itu berakhir. Tapi ia bangun dengan perasaan yang sangat, sangat lega.

Deandra

Deandra bukan anak yang berbakat. Bukan juga anak yang rajin. Yang bisa dia banggakan hanya namanya, yang kata ayahnya berarti kuat sekaligus anggun.

Deandra senang dengan tugas kali ini. Dia jadi bisa membeberkan mimpi-mimpinya. Ya, itulah kesukaannya. Mimpi di pagi, siang, sore, malam. Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu.

Ia melihat ke sekeliling kelas lalu membacakan tulisan, oh bukan, mimpinya, dengan penuh keyakinan, “Saya ingin bisa mengetahui suatu resep dari bau dan rasa makanannya saja.”

Kalimat itu disamput bunyi “Woaaa…” dari teman-temannya. Beberapa celetukan pun menaburi kelas.

“Memang bisa, ya? Kamu kayak Supermen saja.”

“Supermen itu apa? Orang yang suka makan permen?”

“Supermen kayak nama kakekku.”

“Kakekmu Supermen, Jo? Keren!”

“Saya juga ingin bisa membuat suatu baju,” sambung Deandra tanpa mengindahkan teman-temannya, “hanya dari melihat jejak jahitannya saja.”

Teman-temannya makin riuh.

“Emak-emak kali kau Ndra, sukanya jahit baju.”

“Alah kau Evan, Bapakku kan tukang jahit. Itu celanamu saja dijahitin sama Bapakku.”

Deandra terkikik. Dalam hati dia berkata, Bapaknya Agung memang Supermen.

“Saya juga ingin punya kebun di belakang sawah,” sambung Deandra lagi, “di mana pohon-pohonnya selalu berbuah, bunga-bunganya merekah, dan mataharinya bersinar cerah.”

Kali ini mimpi Deandra cukup ‘normal’ dan teman-temannya fokus mendengarkan. Beberapa yang mengenal dekat anak itu hanya membatin, Deandra punya kebun? Di belakang sawah? Sawah siapa? Mungkin seharusnya Deandra punya rumah dulu. Hal itu tidak mereka katakan. Dulu pernah. Dan mereka dipukuli pakai penggaris 1 meter. Sakit rasanya. “Rumah bukan segalanya. Deandra juga teman kita,” tegur Bu Nana waktu itu.

“Terakhir,” kata Deandra. “Saya ingin menguasai banyak bahasa. Supaya bisa keliling dunia, tanpa terbata-bata, atau tersesat dalam kota tak bernama. Pokoknya ngomong Bahasa Inggris bisa ceriwis, selancar Babah kalau cukur kumis! Boleh deh nambah Bahasa Perancis, biar romantis, muach!”

Teman-temannya bertepuk tangan senang, merasa terhibur.

Bu Nana ikut tersenyum. Deandra tidak meminta rumah. Dia yakin akan punya kebun. Deandra tidak meminta uang untuk beli tiket pesawat. Dia yakin bisa pergi ke luar negeri. Bisa bicara dengan orang asing. Memang ya, Deandra benar-benar suka bermimpi!

Munawarman dan Iman

“Bu Nana, saya belum,” sahut seorang anak.

Bu Nana hampir melewatkan anak itu. Arman selalu bersama-sama dengan Iman. Nama mereka pun hampir mirip. Di kelas, keduanya juga dipanggil dengan sebutan “man”. Mereka berdua selalu berlomba-lomba dalam kebajikan, seperti perintah Tuhan dalam kitab suci.

“Saya ingin dimakamkan tanpa nisan,” katanya.

Bu Nana tersentak. Tidak banyak anak-anak yang sudah memikirkan konsep kematian di usia yang keempat belas.

“Saya ingin dimakamkan tanpa tangisan. Tanpa jeritan. Dengan keikhlasan. Tanpa tanah yang ditinggikan, atau upacara berlebihan.”

Samar-samar Bu Nana ingat. Pada kunjungan Pak Haji untuk ceramah menyambut bulan puasa, saat banyak anak-anak asik mengobrol dan menulis asal-asalan di buku tulis, seorang anak yang paling kecil di kelas itu, Bu Nana lupa ia Iman atau Arman, terlihat sangat serius, betul-betul memperhatikan. Ia ingat Pak Haji memberi topik yang tidak biasa. Dimulai dari “Semoga kita masih dipertemukan dengan Ramadan tahun depan” hingga wejangan-wejangan tentang kematian.

Bu Nana tidak tahu
kalau Iman sudah jadi zombi yang layu

Iman tidur begitu saja, makan tanpa suara, pergi ke sekolah dengan sepeda, dan melakukan rutinitas lainnya tanpa nyawa
Iman bercanda dengan temannya, tertawa, ha ha ha, tapi dalam hatinya, ia berkata, ‘apa lucunya?’
Tidak ada hal yang lucu, sedih, mengherankan, membuatnya marah, terpana, atau ada artinya

Kelak Iman mengetahui itu sebagai kasus mental yang parah
Luka-luka kecil yang tidak pernah ia hiraukan
Tidak pernah ia berikan P3K
Sudah bernanah dan busuk
Berbau menyengat
Orang-orang menghindarinya
Ia sendiri menghindari dirinya
Ia siapa? Ia hilang

Hingga ia bertemu kembali dengan Arman
Di suatu masa depan yang jauh
Bersama-sama mereka pergi bermil-mil jauhnya
Mungkin ke Papua, atau ke Surabaya

Rudi

“Saya ingin bisa Bahasa Jepang!”

Teman-temannya manggut-manggut. Rudi memang pencinta kartun.

Kelak, ia akan berseloroh sambil pura-pura kesal, ‘Namanya anime! Bukan kartun.’

Kakak perempuannya pergi ke Jepang untuk bekerja di sebuah pabrik sejak ia masih kecil sekali, dan sampai kini masih belum kembali. Ia bertanya-tanya, apakah selama ini kakak perempuan hanya imajinasinya, ataukah benar-benar berbagi darah dengannya.

Berkaca dari Deandra, Rudi tidak meminta ingin pergi ke Jepang, tapi ingin bisa bahasa Jepang. Rudi ingin bertanya ke orang-orang ketika sudah sampai di sana, “Apa kalian melihat kakakku? Namanya Rini. Dia suka makan roti. Di tangannya ada gelang berwarna pingki. Dia baik sekali. Namanya Rini.”

“Saya ingin bisa membaca kanji,” sambungnya. “Termasuk hiragana dan katakana. Hurufnya baaanyak sekali. Tidak cukup hanya bisa romaji. Kalau sudah ahli, baca komik ori engga perlu gigit jari, nonton kartun tidak butuh transplantasi.”

Temannya manggut-manggut. Dari dulu Rudi memang suka mengeluarkan bahasa-bahasa yang tidak mereka mengerti.

“Translasi, Rud,” koreksi Bu Nana lembut.

Pada akhirnya, Rudi malah belajar bahasa Arab
Bahasa para nabi
Awalnya hanya untuk mengaji
Hitung-hitung persiapan naik haji
Mendekatkan hati pada Illahi Rabbi
Tapi malah makin menjadi-jadi
Sekarang, Rudi sudah ahli

Bagaimana dengan Rini?

Rudi bertemu lagi dengan kakaknya saat mereka sudah sama-sama tak lagi memiliki Bapak dan Ibu

Rini tidak pulang ketika Rudi lulus kuliah
Rini tidak pulang ketika Rudi menikah
Rini tidak pulang ketika Rudi terkena penyakit mematikan, sedang payah, dan hampir punah
Rini tidak pulang meski kerabat lainnya menyemburkan segala sumpah serapah

Tapi saat melihat lagi wajah Rudi setelah sekian lama, air mata Rini tumpah
Tidak salah lagi. Rini melihat… rumah

Yang sayangnya sudah terlambat
Sudah tidak sempat
Waktu Rini, ternyata sudah dekat

Kelas Delapan

Kelas itu bubar pada pukul sebelas karena ada rapat guru.

Bu Nana menutup perjumpaan hari itu dengan berkata, “Nah, anak-anak, Ibu harap, keinginan yang tidak sempat kalian tulis, tetap menemukan jalannya tanpa perlu mengemis. Setuju ya semua?”

“Setuju, Bu,” sahut anak-anak kompak.

Bu Nana pulang ke rumah dengan perasaan ringan. Pada akhirnya, dia tahu apa yang benar-benar dia inginkan.

Ia tersenyum dan berkata lirih, “Saya ingin selalu bersikap apa adanya. Menjadi diri saya sendiri. Saya ingin dihargai dan dicintai, sebagaimana apa adanya saya.”

“Lalu, bukankah menyenangkan, jika kita bisa dengan mudah memahami siapa saja, dan bisa dipahami oleh siapa saja?”

Ya
Yang ini mungkin kita semua setuju

Tapi ya, kita tidak akan bisa memahami 100%
atau dipahami 100%

Tapi itulah seninya

Kita hanya bisa berharap

Masih banyak harapan-harapan lain yang tersebar di dunia ini. Dengan berbagai nama. Berbagai bentuk. Berbagai usaha. Berbagai hasil. Berbagai masa.

Siapkah kamu berharap?

--

--

Mutya Widyalestari

I write about people, technology, and business. All from the student’s perspective.