Bisnis Food Court di Tengah Pandemi

Mutya Widyalestari
7 min readOct 1, 2021
Sumber: en.wikipedia.org

Beberapa hari yang lalu, saya dan adik saya pergi ke sebuah pusat perbelanjaan di Depok. Sebut saja namanya Mall “CTI”.

Kami tahu di Food Court (FC) ada steak murah-meriah yang rasanya ngangenin. Sebut saja namanya “Mun-Mun”. Untuk ke FC, kami harus naik ke lantai paling atas. Tepat setelah kami mendarat dari eskalator terakhir, terdengar suara riuh. Mbak-mbak dan Mas-mas datang menyerbu.

“Bakso, ayam goreng, sop iga…”

“Nasi goreng, ayam goreng, kwetiaw, mi goreng. Semua 19.000 aja, Kakak…”

“Jusnya, Kak.. Ada melon, stroberi, alpukat, mangga, buah naga, ….”

“Mampir, Kak.. Kakak mau makan apa kah? Semua ada, Kak…”

“Villa… Villa… Tikar… Tikar…” (Oke, ini tidak ada)

Semua diucapkan dengan sangat cepat dan tanpa cela. Saya dan adik saya terperangah sesaat. Butuh 1–2 detik sebelum kami kembali “sadar” dan menolak halus, kemudian merangsek maju ke stand Steak Mun-Mun yang ada di sisi pojok FC.

Sambil duduk menunggu makanan tiba, kami berdua mengamati kejadian “serbuan” itu berkali-kali.

Lalu kami pun berdiskusi.

Simplicity

Sumber: dok pribadi

Ini tampilan menu yang dipajang di salah satu stand yang sudah tutup. Menunya super lengkap. Juga detail.

Semuanya ada gambar. Semuanya tampak lezat. Semuanya tampak hemat. Semuanya ingin aku makaannn… graooo~

Tapi jangan salah, otak Anda bisa jadi berpikir lain:

Duh, udah laper, disuruh baca, disuruh ngitung lagi (nasi tambah ayam geprek tambah teh manis terus dikali dua, harganya sama dengan asdfghjklrewq). Cobaan apalagi ini, Tuhan…

Kadang bahkan ada yang nyebelin. Udah mikir susah-susah, ternyata menunya habis.

Coba kita bandingkan dengan beberapa menu berikut ini:

Sumber: masvian.com

Menu di atas hanya menampilkan 3 produk unggulan.

Atau contoh menu paket berikut ini (yang pada beberapa kasus, kita bahkan tidak tahu bahwa menu-menu tersebut bisa dibeli dengan metode a la carte):

Sumber: pergikuliner.com

Mana yang akan Anda pilih?

Memang tidak sempurna. Tetapi “berguna”.

Sebagai penjual, sebenarnya kita punya misi penting. Apa itu? Buat pembeli merasakan kemudahan. Bukan kesulitan. Apalagi cobaan.

Elevator Pitch

Sumber: pinterest.com

Masih ingat dengan kalimat ini:

“Nasi goreng, ayam goreng, kwetiaw, mi goreng. Semua 19.000 aja, Kakak…”

Ada apa sih, dengan “harga 19.000”? Apa istimewanya harga itu?

Ohh… Mungkin dia mau pakai trik seperti ini:

“Yuk, dibeli iPhone-nya. Harganya hanya 2.999.999 rupiah saja, Kak!”

Tapi sayangnya, dia nggak sadar.

Trik tersebut akan berfungsi secara maksimal jika pembeli membaca. Membaca tag harganya kek, spanduknya kek, bannernya kek…

Tapi kalau didengar? Nah, di sini otak akan lebih sulit memprosesnya. Karena yang terjadi adalah, “Sembilan belas ribu itu mahal atau murah ya…”

Sama juga dengan kata-kata yang ini:

“Bakso, ayam goreng, sop iga…”

Ini orang jualan apa ya? Spesialisasi dia di mana? Otak akan cukup kesulitan mengasosiasikan makanan dan minuman yang random.

Atau kata-kata yang ini:

“Mampir, Kak.. Kakak mau makan apa kah? Semua ada, Kak…”

Duh, apaan ya? Semua gue makan, sih. Ada tuh juga gue yang tanya, lu jualan apa…

Jadi, harus bagaimana?

Better dia langsung sebut:

“Mi ayam, mi yamin, kwetiaw~ Asli Bangka. 20ribuan aja~”.

Terlihat perbedaannya?

(1) Batasi menu paling banyak 3 buah dan usahakan ada hubungan antara satu sama lain. Tidak perlu rakus untuk menyediakan semua menu. Kenali kekuatan Anda. Sedikit tips:

  • Market Anda adalah orang-orang dengan budget makan 10~30ribu per orang yang kebetulan sedang main ke Mall CTI (jarang orang berkunjung benar-benar buat makan di salah satu resto, biasanya mereka ada kunjungan utama seperti servis hape, beli baju, atau belanja bulanan).
  • Di situ bisa kita segmentasikan menjadi “orang yang beneran lapar” dan “orang yang nggak laper-laper banget, atau cuman nemenin makan”. Di sini Anda pilih, mau lebih fokus servis tipe pertama atau kedua. Atau ternyata Anda bisa main di tipe niche, misalnya “orang yang dateng ke resto bukan buat makan tapi buat foto-foto”.
  • Kemudian Anda lihat produk Anda, lebih condong bisa perform di segment yang mana. Contoh, karena saya ada keturunan Minang dan besar di Depok, saya tahu makanan Padang apa yang cocok dengan lidah orang sini, apalagi di FC Mall CTI belum ada RM Padang, maka saya buatlah restoran a la Minang tersebut, yang menargetkan (targeting) “orang yang beneran lapar” dan “suka makanan Padang atau makanan pedas lainnya”.

(2) Lebih bagus kalau ditambah kalimat untuk positioning-nya, misalnya:

  • Asli Madura
  • Sambel setan, pedes banget
  • Paling segar sekota Depok
  • Kedai martabak satu-satunya di mall CTI

(3) Lalu ditambah value proposition-nya (jika sempat dan nggak merusak ritme), misalnya ya harga 20ribuan tadi.

Jangan malah:

“nasi uduk, mpek-mpek, bakso malang, martabak, pancake, kangkung, sembilan belas ribu”

Otak akan langsung malas mikir dan melupakan, kemudian mencari pilihan lain yang lebih mudah untuk dicerna.

Freedom to Choose

.

Padahal Mun-Mun tidak punya “shouting agent”, tapi kenapa pembeli terus berdatangan?

Jawabannya sederhana.

Tidak ada orang yang suka disuruh, apalagi dipaksa.

Sumber: latimes.com

Ini pelajaran berharga yang saya petik dari pemilik kos saya sebelumnya.

Setelah menunjukkan berbagai fasilitas degan penuh semangat, beliau menutup sesi tur kami dengan berkata, “Sudah cari kosan ke mana saja? Oh iya benar, di sekitar sini juga ada. Wah saya tahu, iya, yang dekat taman.. Sama yang dekat minimarket, kan? Nanti dari sini mau ke sana? Oh iya bagus, bagus. Semoga mendapatkan kosan yang cocok ya, Dik.”

Padahal, dia bisa saja berkata:

“Di sini aja Dik. Bagus lho, ada ini... ada itu… ada anu…”
…. [Please note bahwa kalimat ini bisa bikin orang bingung. Kenapa? Karena terlalu banyak informasi. Selain itu, dia tadi juga sudah kasih tur, kan? Jadi sebenarnya nggak perlu diulangi lagi]

Atau:

“Biasanya penuh di sini, Dik. Ayo, ini tinggal 1 kamar lho. Pasti nggak nyesel, deh!”
…. [Hati-hati dengan strategi ini. Penjual sengaja membuat seolah-olah deal ini sangat valuable karena 2 kondisi: “limited unit” dan “limited time”. Seringnya yang begini, mau bulan depan atau setahun lagi kita ke sana, kamarnya akan selalu sisa satu]

Atau:

“Jangan di sana. Dua juta tapi jalannya sempit, nggak bisa masuk mobil. Kamar mandinya juga katanya di luar. Kan nggak enak kalau di luar, mesti ngantri.”
…. [Ini cara berbisnis yang sebenarnya tidak etis. Dia jelek-jelekin kompetitornya, padahal mereka satu RT dan bisa saja malah sering ngeronda bareng]

Atau:

“Ayo, Kak~ Boleh… Dipilih aja.. Mau yang mana, Kak~?”
…. [Maaf salah. Ini mah Mbak-mbak dan Mas-mas di toko kerudung atau celana. Baru lirik sedikit ciput lucu di manekin, langsung ditodong. Ujung-ujungnya jadi nggak minat, terus kita akan melipir ke toko lain yang pramuniaganya “less-annoying”]

… Dan kata-kata lain yang kedengerannya “sales banget” dan bikin kita, apalagi orang yang introvert, itu nggak nyaman. Ini saya temui di beberapa pemilik kos yang lain. Meski ada juga sih yang sama sekali “no effort” dan melakukan tur dengan malas-malasan.

Tapi bapak yang satu ini, dia berkata dengan penuh keyakinan dan ketulusan, “Semoga dapat yang cocok, ya”.

Dengan 1 kalimat itu, dia setidaknya sudah mencetak 2 skor:

(1) membedakan dirinya dengan pemilik kos lain (diferensiasi)
(2) membuat saya merasa kalau ketika saya akhirnya pilih kosan ini, itu bukan karena dia suruh, tapi karena keputusan saya sendiri

Dan ya, akhirnya saya memang ngekos di sana.

For years.

Sebenarnya sih, truth to be told, saya sadar banget bapak ini mengeluarkan kata-kata tadi itu bukan karena dia punya bakat jualan dari lahir atau gimana-gimana. Saya tahu dia sudah menggeluti bisnis ini sejak lama, dan dia juga sudah bertemu dengan berbagai macam orang. Dia tahu jurus apa yang cocok untuk karakter pembeli yang mana. Oh ya, satu lagi yang perlu teman-teman ketahui:

Different people need different treatment.

Meski nggak bisa dipungkiri, ada juga trik-trik legendaris yang bisa diterapkan ke banyak orang. Persentase keberhasilan di atas 80 persen, pokoknya selama calon pembeli ini masuk kategori manusia dan uhuk, punya perasaan.

Misalnya saat penjual batik di Thamrin City bilang, “Astaga Bu, saya kira Ibu ini mamanya Jeng Mutya! Masih muda, Bu!” ke nenek saya. Nenek sadar betul itu pujian palsu, tapi toh dia tetap bahagia karena dipuji orang asing, dan akhirnya nggak jadi menawar segila seperti yang biasa dia lakukan.

Moral of the story, semua orang suka pujian.

Kuncinya adalah sincerity, alias ketulusan hati. Orang yang dengan sengaja berkata “Semoga mendapatkan kosan yang cocok ya, Dik” tanpa benar-benar meyakinkan dirinya bahwa engga apa-apa calon pelanggan yang ini kabur ke kosan lain, tentu nggak akan bisa menarik hati saya untuk memilih kosan tersebut. Ya karena simply engga sincere. People can detect it, even the most non-sensitive one.

Akhir Kata

.

Apa yang saya sebutkan di sini belum tentu berhasil. Apa yang kita pelajari belum tentu hal yang benar.

Ada paradoks yang mengatakan, sales terbaik bukanlah mereka yang menampilkan dirinya sebagai sales. Sales terbaik justru sering terlihat seperti bukan sales sama sekali.

Doa saya dan adik saya untuk para UMKM Food Court di mana saja. Jangan menyerah. Kenali customer Anda. Kenali produk Anda. Kenali medan tempat Anda berjualan. Lihat kesulitan Anda sebagai tantangan dan yang paling penting, nikmati prosesnya!

Saya dan adik saya akan datang lagi. Kami harap pada saat itu, kondisi sudah jauh lebih baik, entah dari sisi marketing, kualitas makanan, kebersihan, maupun bisnis food court Anda secara keseluruhan :)

— Mutya Widyalestari

--

--

Mutya Widyalestari

I write about people, technology, and business. All from the student’s perspective.